
Dua tahun
kemudian cabang tersebut disahkan berdiri sendiri dan
dinamakanpNederlands-Indische Padvinders Vereeniging (NIPV) atau Persatuan
Pandu-Pandu Hindia Belanda. Pada saat itu, sebagian besar anggota NIPV adalah
pandu-pandu keturunan Belanda. Namun, pada 1916 berdiri suatu organisasi
kepanduan yang sepenuhnya merupakan pandu-pandu bumiputera.
Adalah
Mangkunegara VII, pemimpin Keraton Solo yang membentuk Javaansche Padvinders
Organisatie. Setelah itu muncul organisasi kepanduan berbasis agama, kesukuan
dan lainnya. Antara lain Padvinder Muhammadiyah (Hizbul Wathan), Nationale
Padvinderij, Syarikat Islam Afdeling Pandu, Kepanduan Bangsa Indonesia,
Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie, Pandu Indonesia, Padvinders
Organisatie Pasundan, Pandu Kesultanan, El-Hilaal, Pandu Ansor, Al Wathoni, Tri
Darma (Kristen), Kepanduan Asas Katolik Indonesia, dan Kepanduan Masehi
Indonesia.
Kepanduan yang
ada di Hindia-Belanda ternyata berkembang cukup baik. Hal itu menarik perhatian
pula dari Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell, yang bersama istrinya, Lady
Baden-Powell, dan anak-anak mereka, mengunjungi organisasi kepanduan di
Batavia, Semarang, dan Surabaya, pada awal Desember 1934. Para pandu di
Hindia-Belanda pernah pula mengikuti Jambore Kepanduan Sedunia.
Bila pada
Jambore Sedunia 1933 di Hungaria hanya sebatas pada kunjungan delegasi kecil
untuk menyaksikan kegiatan akbar itu, maka pada Jambore Sedunia 1937 di
Belanda, ikut pula Kontingen Pandu Hindia-Belanda yang terdiri dari Pandu-pandu
keturunan Belanda, bumiputera khususnya dari Batavia dan Bandung, lalu dari
Pandu Mangkunegaran, dari Ambon, dan sejumlah Pandu keturunan Tionghoa dan
Arab.
Sementara di
dalam negeri, kegiatan perkemahan dan jamboree kepanduan juga diadakan di
sejumlah tempat. Di antaranya pada 19-23 Juli 1941 di Yogyakarta berlangsung
All Indonesian Jamboree atau “Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem.” Pada
27-29 Desember 1945 berlangsung Kongres Kesatuan Kepanduan Indonesia di
Surakarta.
Kongres
tersebut menghasilkan Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya organisasi
kepramukaan di Indonesia. Namun, ketika Belanda kembali mengadakan agresi
militer pada 1948, Pandu Rakyat dilarang berdiri di daerah-daerah yang sudah
dikuasai Belanda. Hal tersebut memicu munculnya organisasi lain, seperti
Kepanduan Putera Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), dan Kepanduan
Indonesia Muda (KIM). Pada perkembangannya, kepanduan Indonesia kemudian
terpecah menjadi 100 organisasi yang tergabung dalam Persatuan Kepanduan
Indonesia (Perkindo).
Namun, jumlah perkumpulan kepramukaan di Indonesia tidak
sebanding dengan jumlah anggota perkumpulan. Selain itu masih ada rasa golongan
yang tinggi, sehingga membuat Perkindo menjadi lemah. Untuk mencegah hal itu, Presiden
Soekarno bersama Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang
saat itu merupakan Pandu Agung, menggagas peleburuan berbagai organisasi
kepanduan dalam satu wadah.
Hal itu
pertama kali diungkapkan Presiden Soekarno ketika mengunjungi Perkemahan Besar
Persatuan Kepanduan Putri Indonesia di Desa Semanggi, Ciputat, Tangerang, pada
awal Oktober 1959. Presiden kemudian juga mengumpulkan tokoh dan pemimpin
gerakan kepanduan di Indonesia. Seluruh organisasi kepanduan yang ada, dilebur
menjadi satu dengan nama Pramuka.
Presiden menunjuk panitia terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prijono, Azis
Saleh, Achmadi, dan Muljadi Djojo Martono. Gerakan Pramuka tersebut diawali
dengan serangkaian peristiwa yang saling berkaitan. Pada 9 Maret 1961
diresmikan nama Pramuka dan menjadi Hari Tunas Gerakan Pramuka. Pada 20 Mei
1961, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 tentang Gerakan
Pramuka dan momen tersebut dikenal sebagai Hari Permulaan Tahun Kerja.
Pada 20 Juli 1961, para wakil organisasi kepanduan
Indonesia mengeluarkan pernyataan di Istana Olahraga Senayan, untuk meleburkan
diri ke dalam organisasi Gerakan Pramuka. Sehingga disebut sebagai Hari Ikrar
Gerakan Pramuka. Setelah itu, pada 14 Agustus 1961, Gerakan Pramuka
diperkenalkan secara resmi kepada masyarakat luas dalam suatu upacara di
halaman Istana Negara. Ditandai dengan penyerahan Panji Gerakan Pramuka dari
Presiden Soekarno kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang juga
menjadi Ketua pertama Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Panji itu lalu diteruskan Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada suatu
barisan defile yang terdiri dari para Pramuka di Jakarta, dan dibawa
berkeliling kota. Tanggal 14 Agustus itulah yang kemudian ditetapkan sebagai
Hari Pramuka dari dirayakan seluruh Pramuka setiap tahunnya.